Jual Beli Murabahah, Produk Unggulan Bank Syari'ah

 

Jual Beli Murabahah, Produk Unggulan Bank Syari'ah


 Ø  Pengantar

Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syari’ah menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka.[1]

 Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:

  1. al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’
  2. al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’
  3. Bai’ al-Muwa’adah
  4. al-Murabahah al-Mashrafiyah
  5. al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah.[2]

 Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP)[3]

 Ø  Definisi Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan).[4] Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui.[5] Jadi, murobahah adalah proses menjual barang dengan harga yang modalnya diketahui oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang juga diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah[6], bahkan Ibnu Hubairoh[7] menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani[8].) [9]

Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu[10]. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?

Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Murabahah dilaksanakan atas dasar saling rela atau suka sama suka dengan tidak keluar dari aturan agama Islam. Didalamnya tidak terdapat penipuan dan ketidak jujuran, dan yang pasti saling terbuka adalah salah satunya syarat dalam pelaksanaan sistem murabahah.

Menurut Abdul Mannan  (1997 : 164), bahwa murabahah adalah kontrak yang bedasarkan perhitungan biaya ditambah sesuatu atau cost plus. Dalam hal ini berarti ada tambahan diluar dari harga pokok.

Menurut Warkum Sumitro (1996 : 36), murabahah adalah persetujuan jual beli sesuatu barang dengan harga sebesar harga poko ditambah dengan keuntungan yang disepakati. Kesepakatan ini termasuk dengan pembayaran yang ditangguhkan dan juga meliputi cara pembayaran seekaligus.

Menurut A. Karnaen Purwaatmaja dan Syafi’i Antonio (1992 : 26), murabahah berarti pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan modal dan lebih jelasnya lagi adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penjual dan pembeli, pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan nasabah.

Muhammad Syafi’i Antonio (2000 : 145) mengemukakan bai’al murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’al murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Misalnya pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga Rp. 10.000.000,-, kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp. 750.000,- dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga Rp. 10.750.000,-. pada umumnya si pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, sebesar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran, kalau memang akan dibayar secara angsuran.

Jadi singkatnya murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contract, karena dalam murabahah ditentukan beberapa required of profitnya (keuntungan yang ingin diperoleh). Karena dalam definisinya disebut adanya “keuntungan yang disepakati”, karakteristik murabahah adalah sipenjual harus memberi tahu pemberian tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.

Selama akad belum berakhir maka harga jual beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan maka akad tersebut akan menjadi batal. Cara pembayaran jangka waktunya disepakati angsuran ini disebut bai’bi tsaman ajil.

Melalui akad murabahah ini nasabah atau konsumen dapat memenuhi kebutuhan untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah atau konsumen telah memperoleh pembayaran dari bank atau lembaga non bank.[11]

Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:

  1. Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).[12]
  2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.[13]
  3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.[14]
  4. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank. Bank sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.[15]

Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:

1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka[16]. Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya.[17] (ba’i al-murobahah)

2.  Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:

a.   Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.

b.   Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.[18]

3.    Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.[19]

Ø  Pernyataan para Ulama terdahulu tentang Jenis jual beli Murobahah

Permasalahan jual beli murabahah KPP ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian pernyataan mereka:

Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’. Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai dan saya akan memberika keuntungan kepadamu’, semua ini sama. Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertama diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua hal:

1.    Berjual beli sebelum penjual memilikinya.

2.    Berada dalam spekulasi (Mukhathorah).[20]

Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-’Inah adalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo menjadi dua belas.[21]

Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga The Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya.[22]

Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang tersebut dikepemilikan penjual.[23]

Ø  Hukum Bai’ Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat (Ghairu al-Mulzaam)

Telah lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:

1.            Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya.[24]

2.            Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-’Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Kholdun dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakr Abu Zaid.[25]

Ø  DasarHukum

Yang dijadikan hukum tentang murabahah adalah Q.S Al-Baqarah ayat 275, yang artinya yaitu :

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba[26] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[27]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[28] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

Dari ayat di a jual beli itu dihalalkan dan riba itu di haramkan

Dari Su’aib ar-Rumi’ r.a, bahwa Rasulullah bersabda :

عَنْ صَالِحٍ بْنِ مُهَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلََّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمْ ثَلاَََثُ فِيْهِنََّ الْبَيْعَ اِلَى اَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَاَخَلاَطُ الْبِرُّ بِالشَّحِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ

“Tiga hal yang di dalamya terdapat keberkahan : jual-beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bahkan untuk dijual”. (Subulussalam, HR. Ibnu Majah : 147).

 

Dalam surat lain An-nisa, ayat 29 yang dijadikan landasan hukum tentang murabahah adalah :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesama dengan jalan yang bathil, kecuali dengan perniagaan yang berlangsung dengan suka sama suka diantara kamu”. (Al-Qur’an dan terjemah : Depag RI).

Dalam ayat tersebut dikemukakan bahwa dasar menjadikan perniagaan hal perniagaan adalah saling ridho antara kedua belah piahak walau terdapat keuntungan yang banyak.

 Jual beli hanya dengan saling ridho atau dengan kata lain suka sama suka. Oleh karena suka sama suka (kerelaan) itu adalah termasuk jual beli secara al murabahah diatas, hanya untuk barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak.

 Jamian adalah salah satu syarat diantara sekian banyak syarat yang telah ditentukan dalam pembiayaan murabahah.. Jaminan diperlukan untuk memperkecil resiko-resiko yang merugikan bank serta untuk melihat kemampuan nasabah dalam menanggung pembayaran kembali  atas hutang yang diterima dari bank.

 Dalam surat al-baqarah ayat 283 yang menjadi landasan hukum tentang jaminan adalah :

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegan (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Maksud ayat diatas adalah “apabila sedang bermuamalah tidak secara tunai sedangkan tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (jag tanggungan itu diadakan bila satu sama lain tidak saling mempercayai. Namun apabila saling mempercayai antara pemberi pinjaman dan peminjam maka tidak diharuskan adanya tanggungan.

 Jadi jaminan dalam pembiayaan murabahah ini sifatnya mengikat yaitu menghindari agar si peminjam atau si pemesan tidak main-main dengan pesanannya.

 Ø  Hukum Ba’i Murabahah dengan pelaksanaan janji yang mengikat

Risiko atas transaksi murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat ini adalah lebih kecil daripada transaksi murabahah berdasarkan pesanan yang besifat tidak mengikat. Salah satu cara mengikat nasabah adalah Bank Syariah meminta uang muka kepada nasabah dan harus disetor ke Bank Syariah.

 Ø  Murabahah Sebagai Produk

Produk merupakan alat pemuas kebutuhan konsumen. Produk diciptakan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, sebab jika produk tersebut tidak mengikuti selera dan keinginan konsumen maka pada nantinya produk tersebut akan ditinggalkan konsumen. Berikut definisi produk menurut Kotler ( 1993 : 124), mengemukakan sebagai berikut : “Produk adalah sesuatu yang ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki, dipakai, atau dikonsumsikan sehingga dapat memuaskan keinginan atau suatu kebutuhan”.

 Sedangkan menurut Mc Carthy (1978 : 237), berpendapat sebagai berikut mengenai definisi produk : “ Produk adalah suatu kemampuan memberikan kepuasan, penggunaaan, atau kemungkinan keuntungan yang diharapkan oleh pelanggan”.

 Berdasarkan pendapat diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa produk adalah suatu barang dan jasa atau segala sesuatu yang dapat digunakan atau dikonsumsikan setiap manusia atau segala sesuatu yang dapat digunakan atau keinginan dimana didalamnya mencakup berbagai atribut yang dapat terlihat seperti pembungkusan, warna, harga, merek, dan juga atribut yang terlihat seperti yang tidak terlihat seperti pelayanan dan kepuasan dari produk tersebut.

 Ø  Rukun Murabahah (jual-beli)

·                     Penjual (Ba’i)

1).    Bank berhak menentukan supplier dalam pembelian barang

2).    Apabila nasabah menunjukan supplier lain, maka bank berhak melakukan penilaian terhadap supplier tersebut untuk menentukan apakah supplier layak atau tidak (sesuai kriteria yang ditetapkan oleh Bank)

3).    Bank memberikan Purchase Order (PO) sesuai kesepakatan dengan nasabah kepada supplier agar barang tersebut dikirim ke nasabah

4).    Bank akan langsung mentransfer uang pembelian barang kepada penjual/supplier, bukan diberikan/ditranfer langsung kepada nasabah.

·                     Pembeli (Musytaria)

1).    Nasabah harus cakap hukum

2).    Memiliki kemauan dan kemampuan untuk membayar.

·                     Objek jual beli

1).    Pembelian rumah / gedung atau sejenisnya

2).    Pembelian kendaraan / alat transfortasi

3).    Pembelian alat-alat industri

4).    Pembelian asset lain yang tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.

·                     Harga

1).    Ketentuan harga jual (pricing) ditetapkan diawal perjanjian dan tidak boleh berubah selama waktu perjanjian

2).    Apabila nasabah memberikan uang maka (down payment) pada saat yang sama, maka uang muka nasabah tersebut sudah dianggap sebagai angsuran pertamanya. Secara otomatis pula merugikan jumlah total angsuran / kewajiban yang harus dibayar. Akad jual beli yang dibuat antara bank dan nasabah tetap berpedoman kepada harga jual beli awal yang telah disepakati bersama dan tergantung dalam perjanjian pembiayan.

·                     Ijab Qobul (lihat pada lampiran: contoh akad murobahah)

·                     Syarat Murabahah (jual beli)

a)            Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah

b)            Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan

c)            Kontrak harus bebas dari riba

d)           Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian

e)            Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.

Secara prinsip jika syarat dalam (a), (d), atau (e) tidak dipenuhi, maka pembeli memiliki pilihan :

1)            Melanjutkan pembelian seperti apa adanya

2)            Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual

3)            Membatalkan kontrak.

Jual beli secara Al murabahah diatas hanya untuk barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak. Bila produk tersebut tidak dimiliki penjual, sistem yang digunakan adalah murabahah kepada pemesan pembeli (murobahah KPP), hal ini dinamakan demikian karena si penjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesannya.

 Janji pemesanan untuk membeli barang dalam bai’ al murabahah bisa merupakan janji yang mengikat. Para ulama syariah terdahulu bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan itu. Dewasa ini, The Islamic Fiqih Academy juga menetapkan hukum yang sama. Alasannya, pembeli barang pada saat awal telah memberikan pilihan kepada pemesan untuk tetap membeli barang itu atau menolaknya.

 Penawaran untuk nantinya tetap memberikan atau menolak dilakukan karena pada saat transaksi awal orang tersebut tak memiliki barang yang hendak dijangkau. Menjual barang yang tidak dimiliki adalah tindakan yang dilarang syariah karena termasuk bai’ al fudhuli. Para ulama syariah terdahulu telah memberikan alasan secara rinci mengenai pelarangan tersebut. Namun, beberapa ulama syariah moderen menunjukkan bahwa konteks jual beli murabahah jenis ini dimana “belum ada barang” berbeda dengan “menjual tanpa kepemilikan barang”. Mereka berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesanan. Terlebih lagi bila si nasabah bisa “pergi” begitu saja akan sangat merugikan pihak bank atau penyediaan barang. Barang sah dibeli sesuai dengan pesanannya tetapi ia meninggalkan begitu saja. Oleh karena itu para ekonomi dan ulama kontemporer menetapkan bahwa si nasabah terikat hukumnya. Hal ini demi menghindari “kemudharatan”.[29]

 Ø  Penetapan Harga

Menurut Yazid (2001 : 227), harga adalah pertimbangan penetapan sebuah jasa mencakup biaya-biaya yang moneter dan non moneter yang sebuah jasa mencakup pengorbanan-pengorbanan berupa waktu, upaya-upaya yang bersifat fisik biaya-biaya sensor dan biaya-biaya psikologis. Menurut Adrian Payne ( 2000 : 28), harga adalah harga yang dibayar dan cara-cara atau syarat-syarat yang berhubungan dengan penjualannya.

Harga dalam istilah murabahah adalah margin keuntungan. Penetapan harga merupakan hal yang sangat sulit diantara unsur-unsur pemasaran. Dalam penetapan harga harus diperhatikan dan dipertimbangkan mengenai situasi dan kompetensi dan nilai jasa yang diinginkan oleh konsumen. Setiap perusahaan yang menetapkan harga akan memilki beberapa tujuan. Adapun beberapa contoh tujuan penetapan harga diantaranya adalah :

  • Mendapatkan posisi pasar
  • Mencari kinerja keuangan
  • Penentuan posisi produk
  • Merangsang permintaan
  • Mempengaruhi keuangan

 Ø  Menganalisa Nasabah

Dalam melakukan analisa pihak perbankan syariah terhadap nasabah, tentang kelayakan nasabah untuk melakukan pembiayaan tersebut dan layak untuk menerima pembiayaan tersebut setelah melalui beberapa proses analisa, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Carakter

Manfaat dari penilaian soal character ini untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat kejujuran dan integritas secara tekad baik yaitu kemauan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dari calon debitur.

b. Capacity

Yaitu suatu penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya yang akan dibiayai dengan kredit dari bank.

c. Capital

Yaitu jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur. Hal ini kelihatannya kontradiktip dengan tujuan kredit yang berfungsi sebagai penyedia dana. Namun memang demikianlah halnya dalam kaitan business yang murni, semakin kaya seseorang ia semakin dipercaya untuk memperoleh kredit.

d. Colateral

Yaitu barang-barang jaminan yang diserahkan oleh peminjam/debitur sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya. Manfaat collateral yaitu sebagai alat pengamanan apabila usaha yang dibiayai dengan kredit tersebut gagal atau sebab-sebab lain dimana debitur tidak mampu melunasi kreditnya dari hasil usahanya yang normal.

e. Condition

Yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat maupun untuk suatu kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit.

f. Constraint

Yang dimaksud dengan constraint disini yaitu batasan-batasan atau hambatan-hambatan yang tidak memungkinkan seseorang melakukan busniess di suatu tempat. (Teguh Pudjo Muljono : 1990 : 11).

 Ø  Risiko

Menurut Barmantyo Djohan Putro, Risiko adalah ketidakpastian yang tidak diketahui tingkat probabilitas kejadiannya, atau resiko adalah ketidak pastian yang bisa dikuantitaskan yang dapat menyebabkan kerugian atau kehilangan.

 Resiko disebabkan karena ketidakpastian, dimana kondisi tersebut disebabkan oleh jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu berakhir.

 Ø  Langkah Proses Murabahah KPP

Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:

1.    Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.

a.  Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.

b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.

2.    Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.

3.    Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.

4.    Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.

a.   Mengadakan perjanjian yang mengikat.

b.  Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.

c.   Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.

d.   Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.

5.    Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).

6.    Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.

7.    Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.

a.    Penentuan harga barang.

b.  Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.

c.    Penentuan nisbat keuntungan (profit).

d.    Penentuan syarat-syarat pembayaran.

e.    Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

 Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan dalam buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai’ Murabahah sebagai berikut:

Aqad ganda (Murakkab) dalam Murabahah KPP bentuk ini.[30]

 Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:

 1.    Ada tiga pihak yang terkait yaitu:

a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.

b.  Penjual barang kepada lembaga keuangan.

c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.

2.    Ada dua akad transaksi yaitu:

a.    Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.

b.    Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).

3.    Ada tiga janji yaitu:

a.    Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.

b.    Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.

c.  Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan. 

Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad berganda (al-’Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji  dan ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya. 

Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: Belikan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian. 

Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, sehingga jelas hukumnya berbeda. 

Hukumnya

Yang rojih dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:

a.  Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut, masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.

b.  Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempo dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.

c.   Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang berbunyi: 

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149)

Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli.[31]

 Ketentuan diperbolehkannya

Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:

  1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
  2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
  3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya.[32]  

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Qur’an dan terjemah : Depag RI

al-’Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah – Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah-, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 1427 H, Kunuz Isybiliya`

Fiqhu an-Nawaazil –Qadhaya Fiqhiyah al-Mu’asharah-, DR. Bakr bin ABdillah abu Zaid, cetakan pertama tahun 1416 H, Muassasah ar-Risalah.

al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at -Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H , Dar al-Wathon.

Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, cetakan kesembilan tahun 2005 M, Gema Insani Press.

Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, edisi revisi tahun 2006 M, cetakan ketiga tahun 1427 H.

al-Fiqhu al-Muyassar-Qismu al-Mu’amalaat- Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, prof. DR. Abdulah bin Muhammad al-Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Al Musa, cetakan pertama tahun 1425 H , Dar al-Wathon.

Kholid Syamhudi, Lc., Artikel Mengenal Jual Beli Murobahah. www.ekonomisyariat.com/fikih-ekonomi-syariat/commengenal-jual-beli-murabahah.html

 


[1] Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar hal. 307.

[2] Kelima nama ini disebutkan dalam al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 260-261.

[3] Lihat Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, hal 103

[4] Lihat al-Qaamus al-Muhith hal. 279

[5] Al-’Uquud al-Murakkabah hal 257

[6] Al-Mughni 4/259

[7] Al-Ifashoh 2/350 dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64

[8] Bada’i ash-Shanaa’i 7/92

[9] Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64.

[10] Menurut Afiqoh Qgustin, staf salah satu Bank Syari’ah.

[11] Drs. Zainul Arifin : 2006 : 23

[12] Bai’ al-Murabahah lil Aamir bi asy-Syira’ karya Saami Hamud dalam kumpulan Majalah Majma’ al-Fiqh al-Islami edisi kelima (2/1092) dinukil dari al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah hal. 257

[13] Lihat Bai’ al-Murabahah Kamaa Tajriha al-Bunuuk al-Islamiyah Muhammad al-Asyqar hal. 6-7 dinukil dari al-’Uquud al-maaliyah al-Murakabah hal. 257

[14] al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 258.

[15] Ibid

[16] Fikih Nawazil 2/90

[17] al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259.

[18] Lihat Fikih Nawazil 2/90 dan al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259

[19] Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq hal. 308.

[20] Lihat al-Umm, dinukil dari Fikih Nawazil 2/88-89

[21] Dinukil dari Fikih Nawazil 2/88.

[22] Lihat al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 267.

[23] Majalah al-Jami’ah al-Islamiyah edisi satu tahun kelima Rajab 1392 hal 118 dinukil dari al-Bunuuk al-Islamiyah hal. 308

[24] Lihat Fikih Nawazil 2/90.

[25] ibid

[26] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

[27] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.

[28] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

[29] (Muhammad Syafi’i Antoni : 2000 : 146 )

[30] Lihat al-’Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 265-266

[31] Untuk lebih lengkapnya silahkan merujuk pada kitab al-’Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah hal 267-284 dan Fikih Nawazil 2/ 83-96.

[32] Fikih Nawazil 2/97 dengan sedikit perubahan.

Posting Komentar untuk "Jual Beli Murabahah, Produk Unggulan Bank Syari'ah"