Mahar Perempuan: Pemberian atau Pembelian?

Mahar Perempuan: Pemberian atau Pembelian?


 Judul Asli: 

Tradisi Mahar: Sebuah Pemberian ataukah Pembelian Perempuan secara Terselubung?

Oleh Ipah Jahrotunasipah, S.Pd., ME.Sy

Pernikahan adalah sebuah proses yang agung, yang diimpikan bahkan terkesan sakral. Itulah fenomena pernikahan dalam realitas sosial kita. Pestanya menjadi harapan bagi semua orang, baik dari keluarga tidak mampu, apalagi keluarga kalangan konglomerat. “saya paling senang datang ke pesta pernikahan, melihat banyak orang bahagia, juga berdo’a untuk sebuah kelangsungan generasi, oh bahagianya!, tutur Maria Ulfah, alumnus IAIN baru-baru ini. 

Pernikahan adalah pintu masuk bagi kedua mempelai untuk membangun rumah tangga. Darmanto Yt, dalam sanjaknya, seperti dikutip oleh Kris Budiman, bertutur:

Rumah itu, omah,

Omah itu dari Om dan Mah,

Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang

bersifat jantan

Mah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya tanah

bersifat betina,

jadi rumah adalah ruang pertemuan antara laki dan rabinya.


Puisi tersebut, menurut analisis Kris, menggambarkan bahwa di dalam rumah terdapat komponen-komponen semantis (=makna yang lebih luas dari rumah tangga) yang saling beroposisi (= berhadap-hadapan), bahkan bersifat hirarkhis (tangga), yaitu atas (pemimpin/ pengatur) – bawah (yang dipimpin/ yang diatur); luar (= publik) – dalam ( = domestik); jantan ( = maskulin) – betina ( = feminin). Nah, pasangan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan tersebut selanjutnya akan menempati posisi-psoisi tersebut, yaitu siapa di atas dan siapa di bawah; siapa  yang mengatur  dan siapa yang di ataur; siapa yang bertanggung jawab urusan luar (publik) dan siapa yang bertanggungjawab atas urusan domestik. Karena itulah kemudian secara sosiologis, laki-laki akan ditempatkan pada posisi yang pertama dan perempuan di posisi yang kedua. Penempatan ruang-ruang tersebut, sebagian bersifat absolut, sebagian bersifat relatif. 

Untuk mengukuhkan posisi-posisi tersebut, disosialisasikanlah tentang peran dan status laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga. Diperkuatlah idiologi patriarkhis dimana laki-laki menempatkan diri sebagai the firts class (kelas sosial yang pertama) dan perempuan sebagai the second class (kelas sosial yang kedua). Semakin kuat laki-laki menempatkan diri di posisi yang pertama, maka secara struktur ia akan semakin menyingkirkan peran yang kedua (perempuan). Dampaknya, laki-laki akan selalu dianggap sebagai penanggung jawab, keputusannya akan selalu didengar, pendapatannya berapa pun adalah sebagai nafkah, selalu mengatur, boleh memukul kalau isterinya membantah, boleh menuntut apa saja dan kapan saja, dapat menjatuhkan talak kapan dia mau, dapat memberikan ancaman nusyuz bagi isterinya yang menurutnya sudah menyimpang dari akad, menjadi wali yang menikahkan perempuan, menjadi imam bagi semua, menjadi saksi penuh atas dirinya, dan seterusnya.  

Kontruksi sosiologis ini berdampak sebaliknya bagi perempuan, yaitu perempuan akan dianggap lemah, perempuan bukan yang utama, perempuan boleh dipoligami, perempuan boleh dipukul, perempuan akan dianggap nusyuz ketika tidak taat pada suaminya,  pendapat perempuan tidak penting (tidak mengandung kekuatan hukum), perempuan tidak dapat menjadi saksi (kecuali dua orang), bagian hak perempuan separoh dari laki-laki, pendapatan perempuan hanya sebagai pelengkap saja, perempuan tidak bisa menjadi imam bagi laki-laki, perempuan tidak bisa menjadi wali, perempuan harus selalu dijaga (oleh muhrimnya), perempuan baru bisa menikah jika mendapat persetujuan wali-nya, dan seterusnya, bahkan hingga ke perempuan dapat diperjual-belikan (women trafficking).

Relasi timpang ini juga berdampak pada psykologis baik bagi laki-laki maupun perempuan. Laki-laki akan dianggap hero, jika dapat menunjukkan caranya dia menjadi laki-laki yang diharapkan. Begitu juga perempuan, akan dianggap sebagai benar-benar perempuan jika ia dapat menunjukkan kepada masyarakat “wajah”-nya yang perempuan, yaitu yang feminin, yang bersedia menempati posisi kedua di rumahtangga-nya. Nah, persoalannya adalah ketika seseorang karena suatu hambatan tidak dapat memenuhi harapan tadi, maka dengan sendirinya akan menjadi korban dan mendapat stigma atau pelabelan tidak baik. Misalnya, seorang laki-laki yang terkena korban PHK kemudian memilih di rumah dan melakukan beberapa pekerjaan rumah akan dipandang sebelah mata, menjadi sumber gosip, direndahkan, dan lain-lain, yang hal ini tentunya menjadi beban psikologis bagi laki-laki tersebut.

 Berbeda jika kita memandang bahwa semua berkemungkinan menempati pran-peran di dalam rumah tangga sesuai dengan kondisi-kondisi yang dimiliki. “Hidup adalah kompromi-kompromi,” begitu ungkap seorang sahabat yang enggan disebut namanya. Baginya, tidak ada kekuasaan yang absolute, semua adalah relatife, semua bisa didiskusikan, bisa dikomunikasikan dan bisa didialogkan. Sayangnya, ketika sebagian menganggap tak ada kompromi, karena semua dianggap berasal dari “teks”, sehingga tak dapat dibantah, tak dapat digugat (=dikritisi), tak ada dialog, dan tak ada diskusi, maka penempatan laki-laki – perempuan dalam model-model relasi yang akan dibangun adalah penempatan secara binner, secara beroposisi (berhadap-hadapan).

Pertanyaannya adalah, dimanakah posisi mahar dalam kaitannya dengan urusan rumah tangga tersebut. Apakah mahar berdampak pada penempatan posisi-posisi peran dan status di dalam rumah tangga? Apakah mahar memiliki kontribusi yang signifikan dalam membangun sosio-psikologis pasangan dalam memasuki rumah tangga? Bagaimana teks (al-Qur’an dan Hadits) mengungkap masalah mahar?


Memasuki pernikahan adalah memasuki dunia yang masih abu-abu, belum jelas. Ketidakjelasan ini disebabkan apakah perempuan atau laki-laki akan memperoleh kebahagiaan atau sebaliknya kesengsaraan di  dalam rumah tangganya. Ya, apakah akan memperoleh nasib baik atau sebaliknya, nasib yang kurang baik, apakah akan diperlakukan manusiawi atau tidak manusiawi? Atau apakah penempatan posisi-posisi di dalam rumahtangga terkait dengan status dan perannya tersebut masih bersifat realitefe atau memungkinkan terjadinya kompromi-kompromi ataukah bersifat absolute? Apakah perempuan atau laki-laki memiliki kedudukan yang setara di dalam rumah tangganya ataukah timpang seperti yang berlangsung di dalam budaya patriarkhis di atas? Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kebebasan yang sama secara proporsional dan seimbang? Semua kembali kepada tafsir masing-masing individu di dalam rumah tangga dalam memahami status dan perannya. Tafsir ini kembali kepada keyakinan idiologi yang dibangunnya, perspektif yang dibentuk dan tentu saja yang tak kalah penting adalah pengalaman hidup sehari-hari. 

Sebuah tulisan yang diposted oleh Irma Suzanti pada 21 April 2009 mengilustrasikan bahwa memasuki pernikahan bagi perempuan adalah sama dengan menjebloskan perempuan ke dalam sangkar keterkungkungan, tidak memiliki kebebasan dan menyebabkan hidup bagai dipenjara. Sumber petaka ini, disebutkan Irma adalah disebabkan oleh adanya maskawin (mahar) yang dianggap sebagai alat tukar (exchange). Kebebasan perempuan telah dijual kepada pasangan dengan menerima maskawin tersebut, begitu katanya.

“Penguasaan laki-laki terhadap perempuan dalam perkawinan tak terlepas dari adanya budaya maskawin yang dipandang sebagai alat pembelian laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Ketika seorang laki-laki dalam proses ijab kabul menyerahkan mas kawin kepada perempuan seringkali dimaknai perempuan terbeli dengan maskawin tersebut. Dan pemilik berhak melakukan apa saja sesuai kehendaknya. Adanya konsep bahwa isteri adalah hak milik suami sama artinya menjebloskan perempuan adalam sangkar keterkukungan. Hidupanya tidak bebas, bagai dipenjara.

Setelah menikah perempuan dan hak-haknya terlupakan. Perempuan sebagai seorang istri seolah-olah hanya mempunyai kewajiban yaitu kewajiban untuk suami dan keluarganya. Untuk pergi keluar rumah atau mengikuti kegiatan sosial haruslah seijin suami. Jika suami tidak merestui atau mengijinkan maka perempuan tidak dapat berbuat apa-apa.

Terjadi penguasaan atau dominasi laki-laki kepada perempuan. Perempuan tidak mempunyai kebebasan, kemerdekaan bagi dirnya sendiri. Terlebih adanya pemahaman agama yang mengatakan bahwa ijin atau restu suami adalah restu Tuhan. Murkanya suami merupakan murkanya Tuhan. Pandangan atau asumsi ini seringkali dipakai untuk menguasai dan menghilangkan kemerdekaan perempuan.” 

Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah. Hal ini diteguhkan pula oleh pendapat mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP), Prof Dr Meutia Hatta. Seperti diilustrasikan dalam Suara Karya online, Meutia Hatta berpendapat bahwa pembatasan suami kepada isterinya adalah disebabkan oleh budaya maskawin dalam perkawinan. Budaya ini melahirkan pandangan bahwa perempuan telah dibelinya.

"Dengan pemilikan itu, laki-laki merasa berhak melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Lalu terjadilah penguasaan atau dominasi laki-laki terhadap perempuan," tuturnya.

Jadi selama ini, yang kerap terjadi pada perkawinan di Indonesia, suami sebagai penguasa penuh berhak atas semuanya. Baik itu menentukan aturan, standar moral, serta kehidupan istri dan anak-anaknya. Sementara, istri dan anak diposisikan sebagai pihak yang menerima aturan dan sekadar pendukung suami.

Ini sangat tidak adil, katanya, sangat melemahkan posisi perempuan. Dalam berumahtangga tidak boleh menciptakan pola hubungan yang tidak sehat. Satu pihak tidak boleh menguasai yang lain. Setiap keluarga Indonesia, harus mengetahui makna dan hakikat pola hubungan antara suami, istri, dan anak-anak. 

Maskawin adalah tradisi yang hampir di semua kebudayaan ada. Tak terkecuali dalam kebudayaan Islam, sebutannya dikenal dengan istilah mahar. Semua mazhab sepakat memandang mahar sebagai wajib. Padahal, ia tidak termasuk syarat maupun rukun pernikahan. Tetapi, pernikahan tidak dapat dilangsungkan tanpa kehadiran sebuah mahar.  Pertanyaannya adalah apakah benar teks melihat mahar sebagai wajib? Kenapa? Tidakkah ia terjebak dengan konsep alat tukar? Sebagai alat jual beli? Sebagai “exchange”, menurut istilah kawan saya?

Jawaban sementara atas pertanyaan tersebut menurut saya adalah tidak benar. Pertama, tidak benar teks menjadikan mahar sebagai wajib. Kedua, tidak benar Islam memandang mahar sebagai exchange. Dan ketiga, tidak benar juga bahwa sumber petaka dari sistem relasi yang timpang adalah karena maskawin. Mari kita lihat deskripsi berikut ini.

Pengertian dan Hukum Mahar 

Kata mahar  (مهر)di dalam al-Qur’an dapat ditemukan dengan menggunakan kata-kata, shoduqah (صدقة) = pemberian, ujuurun( أجور)  = upah, nihlah (نحلة) = pemberian yang tulus, dan faridah (فريضة) = kewajiban/ ketentuan. Sedangkan Al-Fauzan mengidentifikasi adanya 9 istilah yang sama dalam pengertian mahar, empat lainnya adalah shodaq ((صداق, ‘uqr, aliqah (barang yang berharga dan indah) dan hiba.  

 Pertama, dalam Q.S. An-Nisaa ayat 4, menggunakan kata shoduqah dan nihlah. berbunyi: وأتوا النّساء صدقاتهنّ نحلة (النساء : ٤) ; Artinya: “Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh keikhlasan.” Kedua, Q.S. An-Nisaa ayat 24, menggunakan kata ujurun dan faridhah. فما استمتعتم به منهنّ فأتواهنّ أجورهنّ فريضة  ولا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعض الفريضة  (النساء : ٢٤); Artinya: “maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. dan tidaklah menjadi dosa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah kamu menentukan mahar itu.” Ketiga, begitu juga Q.S. An-Nisa ayat 25 menggunakan kata ujuurun. وأتواهنّ أجورهنّ بالمعروف  (النساء : ٢٥); Artinya: “dan berikanlah maskawin mereka menurut yang patut.” Keempat, Q.S Al-Baqarah ayat 236 & 237, masing-masing menyebut kata faridhah untuk menyebut mahar. Dalam bahasa Arab, kata faridhah artinya adalah kewajiban.

Sedangkan dalam Hadits, yang paling banyak dijadikan landasan tentang wajibnya mahar adalah hadits dari Sahl bin Sa’d yang berbunyi:

“Sahl berkata: telah datang (menjumpai) seorang perempuan kepada Nabi dan berkata: “saya datang untuk menyerahkan diriku”, kemudian dia berdiri lama, dan Nabi memandang sekujur tubuhnya, lalu berkatalah seorang laki-laki: “Nikahkanlah untukku, jika Rosul tidak berhajat padanya”, Nabi menjawab: “apakah kamu mempunyai sesuatu untuk disedekahkan padanya?” Ia menjawab: “tidak ada”. Nabi berkata: “carilah”. Lalu pergilah laki-laki tersebut, kemudian kembali, dan berkata: “Demi Allah, aya tidak menemukan sesuatu pun”. Nabi berkata: “pergilah dan carilah sekalipun sebuah cincin besi”. Maka, pergilah lelaki tersebut dan kembali, lalu berkata: “tidak ada, demi allah, tidak ada walau pun sebuah cincin besi”. Dan dia memiliki sebuah darung yang dipakainya. Maka dia berkata: “saya mensedekahkan sarungku padanya”. maka Nabi berkata: “jika wanita itu memakai sarungmu, maka kamu tidak memiliki pakaian, dan jika kamu memakainya maka tidak ada pakaian padanya. Maka lelaki itu pergi lalu duduk. Maka Nabi melihatnya sambil berpaling, tak lama lau Nabi memerintahkan untuk memanggilnya kembali, dan berkata: “apakah kamu memiliki (hafalan) al-Qur’an? Ia menjawab: “surat ini dan surat ini sambil menghitungnya”. Nabi berkata: “Sungguh engkau telah memilikinya dengan (hafalan) al-Qur’an yang ada padamu”. (HR. Sembilan Ahli Hadits, antara lain Imam Bukhari)

Hadits di atas hanya ingin mengatakan bahwa mahar itu adalah wajib, sedangkan ukuran mahar adalah apa pun yang dianggap mengandung nilai, bisa  berupa uang, barang berharga, hapalan al-qur’an, bahkan juga bisa berupa “mengerjakan sesuatu” dan maharnya adalah upahnya . 

Mahar bisa dibayar kontan (cash), bisa dicicil, bisa juga ditangguhkan dibayar pada saat tertentu. Pasangan laki-laki wajib membayar mahar yang dihutangkan, meskipun kemudian bercerai. Tetapi wajibnya mahar di sini adalah dalam konteks membayar hutang ketika pasangan laki-laki melakukan pembayaran maharnya dengan cara menghutang atau mencicil. 

Kata mahar, menurut ulama fiqih diartikan sebagai ‘iwadh (ganti) yang wajib diberikan kepada isteri sebagai konsekuensi dari menikahinya dan menyetubuhinya baik secara syubhat maupun tidak.  Pengertian lain disebutkan Suparta, bahwa mahar adalah sebuah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Jadi mahar dianggap sebagai cara laki-laki untuk mengahalalkan hubungan intim (aktivitas seks) dengan pasangannya.

Hal ini dijelaskan oleh Faqihuddin Abdul Kodir, bahwa  fiqih atau Islam secara lebih luas melihat aktivitas seks bukan sesuatu yang gratis, tetapi sesuatu yang harus dibayar, yakni dengan cara memberikan mahar kepada perempuan. Hal ini juga berlaku bagi kasus salah jima’ (salah/keliru pasangan), maka laki-laki diwajibkan membayar mahar mitsl (mahar yang senilai).   

Perspektif fiqih di atas, menurut Faqih adalah mengandung bias gender. Betapa sebuah aktivitas seks yang mensyaratkan adanya relasi timbal – balik, dimana masing-masing pihak saling berbagi, saling mencintai dan saling membahagiakan harus dihargai dengan materi? Hal inilah yang kemudian menjadi asal muasal ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga. 

“ketika aktivitas seks yang sebenarnya merupakan relasi timbal balik, dihargai dengan materi, maka (logikanya) pihak pembayar menjadi seseorang yang paling berhak menikmati, menguasai, bahkan sering memperlakukan pasangannya secara semena-mena.”

Di hampir seluruh kebudayaan di dunia – untuk menyebutnya tidak ada sama sekali, mahar atau maskawin adalah keharusan yang harus dibayarkan oleh pasangan laki-laki kepada pihak perempuan. Bahkan, disamping maskawin dikenal juga uang dapur atau uang hilang. Jika yang pertama diberikan khusus pada perempuan saat akad pernikahan berlangsung, sedangkan yang kedua diberikan kepada keluarga perempuan menjelang pernikahan berlangsung. Biasanya digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan pesta (walimah).

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa teks tentang mahar masih dianggap mengandung hukum wajib. Padahal wajibnya mahar tidak mengugurkan atau membatalkan pernikahan ketika dalam prosesi tidak menyebutkan jenis mahar. Mahar hanyalah konsekuensi (atsar) dari adanya pernikahan. Jadi, wajibnya mahar ini, menurut penulis, hanyalah wajib menurut pandangan kebiasaan atau kepatutan, bukan kewajiban yang absolute dari Tuhan.

Kebiasan dan kepatutan adalah hukum yang bersifat relatif dan tentatif, yakni mengandung kesementaraan dan keterbatasan waktu.   Wajibnya mahar akan menjadi gugur ketika kebiasaan dan kepatutan berubah. Sekalipun salah satu pihak (bisa laki-laki dan terbuka peluang juga bagi perempuan) akan memberikan mahar kepada pasanganya, maka sejatinya haruslah dimaknai sebagai pemberian yang penuh ketulusan (nihlah). Adalah mengandung pengertian yang ambigue (membingungkan) ketika aktivitas “memberi” atau shodaqoh yang penuh keikhlasan tapi kemudian hukumnya menjadi wajib. Sedangkan dalam khasanah yang penulis temui, aktivitas memberi yang diwajibkan dalam Islam hanyalah ada pada zakat. Pengingkaran terhadap zakat mengandung konsekuensi dosa (baik dosa personal maupun dosa sosial), bahkan termasuk memerangi agama itu sendiri.  Sedangkan pengingkaran terhadap mahar tidak mengandung konsekuensi yang sama. 

Dengan demikian hukum wajibnya mahar ini dapat berubah menjadi makruh, haram, sunah atau mubah. Hal ini sesuai dengan salah satu kaidah fiqhiyah: “taghoyyuril fatwa wa ikhtilafaha bihasbi taghoyyuri al azminah wal amkinah wal ahwal wa niyyaah wal ‘awaid”. Artinya, “berubahnya hukum itu mengikuti perubahan waktu, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan.”  Jadi, mengapa tidak kita di sini sekarang mengkritisi wajibnya mahar. Apakah masih relevan dengan kondisi sekarang atau tidak?

Menurut saya, hukum mahar bisa diasosiasikan kepada hukum nikah sendiri yang juga berhukumkan sunah, mubah, wajib, makruh dan haram. Saya mencoba menjelaskannya satu persatu. Pertama, kapan hukum mahar menjadi sunnah? Yaitu ketika pihak pemberi (bisa laki-laki, bisa juga perempuan) tidak menuntut apa pun dari pemberiannya kepada pihak yang diberi. Artinya ia memberi dengan penuh ketulusan (nihlah) sebagaimana semangat yang terkandung dalam kata shodaqoh itu sendiri. “memberi kok maksa”, tentu tidak demikian donk. Memberi sebagai ekspresi kasih sayang. Dan inilah menurut saya hukum dasar memberi mahar sebagaimana hukum dasar nikah itu sendiri.

Dalam filsafat cinta, seorang kekasih akan memberikan sekuntum mawar merah kepada kekasih yang dicintainya sebagai tanda cinta. Demikian juga seorang ibu akan memberikan ASI (Air Susu Ibu) untuk si buah hati sebagai tanda kasih. Rasa cinta, sesuatu yang bersifat immateri kemudian dihadirkan dalam bentuk yang materi. Hal yang tak terbatas diwujudkan dalam hal yang terbatas. 

Rasa cinta yang bersumber dari emosi yang terdalam, menurut teori emosi – motivasi, adalah berkecenderungan untuk bertindak. Sebab, dalam hal ini emosi merupakan energi bagi dorongan-dorongan (drives) yang muncul bersama. Jadi emosi cinta dan senang menjadi enerji bagi lahirnya dorongan-dorongan untuk bertindak, termasuk untuk memberi.  

Emosi senang, bahagia dan cinta adalah salah satu emosi dasar manusia. Rasa senang, cinta, puas, gembira dan bahagia adalah rasa yang diharapkan dan dicita-citakan semua orang. Segala upaya akan dilakukannya. Termasuk sang pasangan. Semua tuntutan tradisi maupun agama akan diikutinya demi mencapai kebahagiaan, yaitu hidup bersama pasangan yang dicintainya untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.  Salah satu ekspresi rasa senang ini adalah dengan memberi sesuatu atau hal-hal yang disenanginya semata hanya mengharap keridhoan Allah, artinya tanpa pamrih, tanpa ada tuntutan apa pun. 

Kedua, kapan hukum mahar menjadi mubah? Yaitu ketika tidak ada faktor-faktor pendorong yang menjadi alasan pentingnya memberi atau diberi. Kedua belah pihak memandang tidak penting memberi atau diberi, yang penting adalah prosesi ijab qobul-nya, misalnya. Bisa jadi kedua pasangan tidak punya apa-apa secara materi dan juga tidak mau menjanjikan apa-apa. Atau bisa jadi karena kedua pasangan merasa berkecukupan secara materi dan dianggap mengandung konsekuensi egalitarian tanpa harus menuntut dan merasa dituntut sehingga memandang tidak penting ada mahar. Bahkan, kalau dilihat dari pohon hukumnya, dimana pemberian mahar sebagai transaksi mu’amalah (transaksi menyangkut hubungan antar sesama manusia), maka ia sejatinya berhukumkan mubah. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:  al-ashlu fil mu’amalah al-ibaahah illa an-yadulla daliilun ala tahriimihaa, bahwa hukum asal dalam semua bentuk mu’amalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. 

Ketiga, kapan pemberian mahar ini menjadi wajib? Pemberian mahar menjadi wajib pada saat terdapat faktor-faktor yang mendorong pentingnya memberi mahar. Pada kondisi seperti apa seseorang dianggap penting memberi sesuatu? Yaitu pada saat orang yang diberi adalah sedang betul-betul membutuhkan. Misalnya, pada saat tidak mempunyai anggaran sama sekali untuk melangsungkan prosesi pernikahan dan atau pasangan berada dalam kondisi yang tidak sekupu (setara) secara materi. Misalnya yang satu lebih kaya dari pada pasangannya. Dalam hal ini, bisa laki-laki, dapat juga perempuan. 

Keempat, kapan mahar ini menjadi makruh (dibenci)? Menjadi makruh hukum memberi mahar ini pada dua kondisi. Pertama, yakni ketika perempuan menentukan jenis dan kadarnya secara memaksa kepada pasangan, dan pasangan atau keluarga pasangan merasa berkeberatan. Biasanya, penentuan mahar seperti ini dikaitkan dengan status atau kedudukan sosial seseorang. Misalnya di Pariaman, Sumatera Barat, terdapat tradisi bajapuik, atau maskawin yang diberikan pihak perempuan kepada laki-laki. Semula bajapuik ini adalah semacam uang jemputan dan jika terjadi pembatalan pernikahan maka uang ini akan dikembalian. Japuik pada awalnya berupa emas, seekor kuda dan atau barang-barang bernilai. Dalam perkembangannya sekarang uang japuik bertambah dengan uang dapur yang bentuknya berubah menjadi berupa barang-barang mewah, yaitu bisa berupa mobil, sepeda motor, rumah, dan uang jutaan rupiah yang jumlahnya lebih besar dari uang japuik itu sendiri. 

Kedua, menjadi makruh ketika pihak yang memberi betujuan menuntut pamrih kepada pihak yang diberi, termasuk dalam hal layanan. Misalnya, setelah menikah pada umumnya laki-laki selalu minta dilayani oleh perempuan, dari urusan pakai dasi hingga urusan pakai kaos kaki; dari urusan nyuci baju hingga masak nasi; dari urusan rapih-rapih sampai bikin kopi. Semua harus dikerjakan oleh perempuan. Dan ini adalah tradisi yang sangat sulit dihilangkan.

Kelima, kapan pemberian mahar ini menjadi haram? Menjadi haram dalam hal memberi mahar adalah sebagaimana menjadi haram dalam hal menikah itu sendiri, yaitu ketika seseorang bertujuan eksploitatif dan menyakiti. Misalnya, pasangannya dijadikan alat komoditi, diperdagangkan untuk memperoleh keuntungan materi. Contoh, berkedok pernikahan, seorang perempuan dijual kepada warga asing oleh keluarganya, dengan harga pembelian yang mahal atau lumayan. Disebut menjual atau dijual adalah karena, setelah pernikahan (transaksi melalui pembayaran maskawin), pihak perempuan tidak dapat kembali begitu saja kepada keluarganya, meskipun si perempuan sudah tak rela menjadi isterinya. Keadaan ini biasanya dipicu oleh kenyataan si perempuan harus melacur, harus bekerja 24 jam tanpa upah yang sesuai, dan atau hidup dalam perkawinan penuh kekerasan.  

Adakah pesan dibalik wajibnya mahar?

Dengan tetap menghormati para ulama madhzhab, ada baiknya kita menelusuri apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan oleh teks tentng wajibnya mahar? Teks dalam pandangan A. Teew mengandung tiga sistem kode, yaitu kode bahasa, kode sastra dan kode budaya.  Tentu, yang terkait dengan pembahasan tentang tradisi maskawin ini adalah menyangkut kode budaya. Teks yang dihadirkan tidak pernah lepas dari kode budaya baik si penulis maupun pembacanya. Dalam konteks al-Qur’an tentunya yang dimaksud adalah konteks budaya bangsa Arab dan lebih khusus adalah budaya suku Quraisy sebagai masyarakat terdekat dengan teks saat itu.  

Secara historis, terungkap bahwa suku Quraisy atau bangsa Arab pada saat teks diturunkan adalah bangsa yang kurang beradab yang kemudian kondisi tersebut dikenal dengan sebutan jahiliyah. Sebutan jahiliyah (bodoh, tidak beradab) ini antara lain dilatari oleh antara lain karena sikap keberagamaannya yang polytheisme, kecurangan-kecurangan dalam setiap transaksi ekonomi¸ dan karena perlakuannya terhadap perempuan yang dianggap tidak memberikan nilai kehormatan secara sosial, politik, ekonomi dan budaya. Perempuan tidak memiliki hak-hak secara bermartabat. Dalam teks dikisahkan, sebagian masyarakat memperlakukan bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena malu dan menambah beban ekonomi keluarga saja.

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. 

Dalam ayat lain diceritakan bahwa sebagian masyarkat yang lain menempatkan perempuan sebagai barang (harta benda) yang dapat diwariskan. Kondisi rendahnya martabat perempuan sebelum Islam datang ini diceritakan oleh Ummar bin Khattab yang berkata: 

“Kami semula sama sekali tidak menganggap (terhormat, penting) kaum perempuan. Ketika Islam datang dan Tuhan menyebut mereka, kami baru menyadarai bahwa ternyata mereka juga memiliki hak-haknya secara otonom di mana kami tidak bisa lagi mengintervensi” 

Kondisi ini membuat tidak mudah bagi Islam untuk menarik perempuan keluar dari posisi sosial yang tidak menguntungkan ke posisi sosial yang setara dan berkeadilan.  Meninggalkan adat dan kebiasaan tidaklah semudah meninggalkan rumah atau tempat lainnya yang tinggal hengkang begitu saja. Tetapi ia memerlukan proses yang tidak sebentar. Al-Quran dengan semangat perubahannya mencoba melakukan perbaikan-perbaikan secara bertahap (berangsur-angsur), sebagaimana proses turunnya yang berangsur-angsur semata untuk merespon persoalan sosial secara dinamis.

Termasuk dalam hal pernikahan. Karena dianggap sebagai barang, maka ketika seseorang laki-laki hendak menikahi seorang perempuan akan dianggap sebagai membeli. Seorang laki-laki akan membeli perempuan tersebut kepada kabilah/suku/klan dimana perempuan berasal dengan harga yang sesuai dengan tingkat kehormatan kabilah tersebut dalam bentuk mahar. Karena itu, Islam dalam konteks menghormati perempuan maka meluruskan bahwa hendaknya pemberian itu diberikan kepada perempuan yang bersangkutan selaku pemangku hak.  

Menurut Adang Djumhur, Islam hadir untuk membatasi kerakusan dan keserakahan manusia (“laki-laki”) terhadap penguasaan alam dan lingkungannya, termasuk dominasinya pada perempuan. Misalnya, yang semula masyarakat terbiasa menikahi perempuan dalam jumlah yang tidak terbatas kemudian dibatasi menjadi hanya 4, itu pun dibatasi lagi menjadi 1; semula masyarakat tidak memberikan hak waris pada perempuan bahkan menjadi objek dari harta waris itu sendiri kemudian Islam memberikan perempuan bermartabat (tidak menjadikannya harta waris) bahkan diberi hak waris meski pada saat itu baru separuhnya dari laki-laki. Begitu juga dalam hal mahar, yang semula diberikan pada keluarga kabilah maka Islam menghendaki langsung diberikan kepada perempuan. 

Pertanyaannya, kenapa teks tidak meniadakan tradisi pemberian maskawin pada perempuan saat itu? Kenapa laki-laki masih diberi ruang untuk “membeli” perempuan melalui tradisi mahar saat itu? Menurut penulis, terdapat sedikitnya dua alasan, pertama, sekali lagi, tidak mudah untuk menghilangkan suatu tradisi sekaligus. Kedua, perempuan adalah pihak yang secara langsung menerima resiko akibat dari pernikahannya. Pernikahan bagi perempuan saat itu, secara sosial, masih ditempatkan sebagai orang yang beresiko menjadi “korban kekerasan” baik dari pasangannya, maupun keluarga atau kabilahnya.

Dari uraian tersebut dapat diambil sedikitnya tiga kesimpulan. Pertama, bahwa perintah memberi mahar kepada perempuan adalah dalam konteks mendudukkan perkara bahwa yang berhak diberi mahar adalah perempuan yang bersangkutan sebagai penerima hak. Kedua, memberi makna bahwa perintah tersebut dalam konteks melindungi perempuan sebagai orang yang menerima resiko secara langsung dari akibat pernikahan, terutama menyangkut kegiatan reproduksi (hamil, melahirkan dan menyusui, atau keguguran). Ketiga, perintah memberi mahar bukanlah perintah yang bersifat absolute sebagaimana perintah dalam hal beribadat yang berkonsekuensi dosa bagi para pelanggarnya, tetapi perintah yang bersifat relatif dan tentatif dalam konteks sosial-budaya.

Mahar dalam tradisi-tradisi

Manusia lahir dalam ruang dan konteks sosial yang membentuknya. Ia lahir di lingkungan keluarga dimana ia tumbuh dan berkembang. Di situlah ia mendapat sosialisasi nilai-nilai dan norma-norma yang kemudian membentuk persepsi-persepsi tentang fakta-fakta dan realitas-realitas yang ditemuinya. Nilai-nilai dan norma-norma yang disosialisasikan adalah seperangkat cara untuk mewujudkan harapan masyarakat tentang peran-peran dan status seseorang.  

Dalam masyarkat “terutup” yang ditandai dengan agama yang “statik”, menurut Karlina Supelli, nilai-nilai dan norma-norma sosial disosialisasikan tidak lain sebagai cara “memaksa” masyarakat kepada anggotanya supaya memiliki rasa berkewajiban dan menaatinya.  Rasa berkewajiban ini dipelihara agar anggota selalu merasa bagian dari kesatuan masyarakatnya. Moralitas dasarnya adalah moralitas perintah yang tidak mengijinkan siapa pun untuk mempertanyakan kode-kode sosial yang berlaku. Maka dengan demikian, unsur yang paling pokok dalam masyarakat tertutup adalah kebutuhan mempertahankan tradisi dan konvensi, dan sekaligus mereka akan bersiaga untuk menyerang apa pun yang dianggap akan meruntuhkan kesatuan (sosial)nya.  Termasuk masyarakat Arab atau Suku Quraisy saat itu dimana ego kabilah sangat diusung, akan sangat sulit meninggalkan praktik kehidupan yang secara sosial-budaya sudah mapan.

Karena itu, jika kita menengok kepada tradisi memberi maskawin dalam seluruh kebudayaan manusia adalah tidak lain sebagai cara individu untuk memperoleh pengakuan sebagai bagian dari komunitasnya, sekaligus cara masyarakat untuk mempertahankan apa yang menjadi tradisi. Begitu pentingnya mempertahankan tradisi ini, hukum Islam (fiqih) pun mengangkatnya sebagai cara yang “arif” dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungannya.  Karena itu, fiqih berusaha untuk tetap mengakomodasi dan terbuka kepada tradisi yang berkembang di masyarakat dengan menggunakan konsep “al-‘adatu mahkkamatun”. العادة محكّمة , maksudnya, tradisi yang berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber penetapan hukum. Tetapi, konsep ini, bukanlah konsep yang statis. Justru konsep ini pada awalnya adalah konsep yang dinamis dimana fikih berkemungkinan berubah ketika kondisi sosialnya juga berubah.  Hal ini sesuai dengan salah satu kaidah fiqhiyah yaitu bahwa perubahan hukum sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, niat dan adat kebiasaan sebagaimana telah disinggung di atas.

Untuk itu, dalam melihat tradisi mahar  ini maka dalam konteks masyarakat terbuka saat ini, adalah memungkinkan peluang untuk dikritisi, melihat tradisi mahar keluar dari persoalan dogma agama (dalam hal ini adalah fiqih), keluar dari dominasi kultur yang mengusung kepentingan laki-laki (patriarkhi) dan keluar dari paham finalisme.  Maka, dalam konteks egalitarianisme (kesetaraan dan keadilan gender) dan sebagai upaya keluar dari hegemoni laki-laki, tradisi mahar dapat saja ditinggalkan tanpa harus merasa berdosa atau tanpa harus merasa takut akan dikucilkan secara sosial. Atau yang lebih “arif” adalah kembali pada relativitas hukumnya itu sendiri seperti diuraikan di atas yang memungkinkan pemberian mahar bisa berhukum mubah, sunnah, wajib, makruh atau bahkan haram. Yang pasti, janganlah sekali-kali mempersulit diri ketika Tuhan sendiri menghendaki kemudahan. “yuriidullahu bikumulyusro, walaa yuriidu bukumul ‘usro”, artinya, Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.  Bukankah begitu? Wallahu a’lam bi ash-showwaab! 


Posting Komentar untuk "Mahar Perempuan: Pemberian atau Pembelian?"